Kamis, 15 Januari 2015

ISLAM DAN KONSERVASI LINGKUNGAN



Alam adalah Titipan Tuhan
Belajar dari bencana alam yang cukup sering terjadi di Negara ini, sebetulnya dalam agama Islam mengajarkan untuk hidup berharmoni dengan alam. Dalam Al Qur’an, Tuhan menyatakan bahwa seluruh alam semesta adalah milik-Nya (Q.S. Al Baqarah, 2:284). Manusia diberi izin tinggal di dalamnya unutk sementara dalam rangka memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan Tuhan (Q.S. Al Ahqaf, 46: 3). Dengan begitu alam bukanlah milik hakiki manusia.

Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya seperti semula. Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Nabi mengatakan: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya.” Titipan yang dikembalikan tersebut selanjutnya akan didistribusikan kembali bagi orang atau generasi sesudahnya sampai hari kiamat.

Dalam ayat lain Tuhan juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah, 2:60, 205; Al A’raf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syu’ara, 26: 183 dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan kebodohan manusia.

Al Quran juga menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Siapa saja yang menyaksikan tindakan tersebut berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas alam berkewajiban menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Opini Tribun Jogja tanggal 7 Januari 2015

Memelihara Alam
Islam menuntut manusia untuk menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif (ihya al mawat) dengan menanaminya pepohonan, bukan hanya untuk kepentingan manusia hari ini tetapi juga untuk generasi manusia masa depan.Tuntutan ini tidak hanya untuk setiap individu hari ini, tetapi berlaku sepanjang masa sampai menjelang kiamat. Sebuah hadist menyatakan, “Jika tiba waktunya hari kiamat, sementara di tanganmu masih ada biji kurma, maka tanamlah segera.” (HR Ahmad)

Selain itu, Islam juga menganjurkan bahwa desa dan kota harus dikelilingi oleh zona larangan (al-harim) yang merupakan lahan penyangga yang tidak boleh diganggu atau didirikan bangunan (Mangunjaya, 2009). Di Indonesia, sistem harim dijumpai pada Kesultanan Aceh, pada zaman Sultan Iskandar Muda. Abdurraman Kaoy mencatat kebijakan harim untuk perawatan sungai dan pantai ditetapkan: (1) Dilarang menebang hutan sejarak 1.200 depa (2 Km) keliling sumber mata air; (2) Dilarang menebang pohon sejarak 60-120 depa (100-200m) dari kiri kanan sungai; (3) Dilarang menebang pohon sejarak 600 depa (1 Km) dari pinggir laut (Mangunjaya, 2009).

Sebuah tantangan besar bagi peradaban kita sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan kembali hati dan akal masyarakat kita, membangun spiritualitas sebagai mitra dialog dengan sains. Untuk menjawab tantangan ini, tradisi agama-agama dunia perlu mengintensifkan keterlibatan mereka dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan. Perlu ditekankan tentang pentingnya perumusan kembali hubungan Manusia, Alam, dan Tuhan yang harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas dan kearifan perennial. Wallahu’alam.

2 komentar:

  1. mas sulfie..
    bagi2 tips dong biar tulisannya bisa dimuat di media.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. tips ada disini:
      http://arif-sulfiantono.blogspot.com/2013/08/tips-menulis-di-media-massa-koran.html
      monggo isi blog ini bisa dilihat2, semoga bermanfaat :-)

      Hapus