Minggu, 20 Februari 2011

16 MARET, HARI BAKTI RIMBAWAN KE-27: Banjir, Longsor, Tantangan Rimbawan Makin Berat


Kondisi alam semakin hari semakin memprihatinkan, berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan (krisis air), tsunami dan sebagainya melanda Indonesia.  Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 151.277 orang tewas akibat bencana alam yang melanda wilayah Indonesia dalam 13 tahun terakhir (1997 hingga 2009). Korban tewas itu akibat terjadinya sebanyak 6.632 kali bencana alam dalam 13 tahun.  
Jenis bencana yang melanda wilayah Indonesia didominasi banjir yang mencapai 35% dari total 6.632 kali bencana, disusul kekeringan (18%), tanah longsor, angin topan dan kebakaran, masing-masing 11%, dan tanah longsor (3%). Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia merupakan dampak dari pemanasan global (global warming). Berbagai bencana alam sebagai fenomena pemanasan global tersebut menurut peneliti yang juga dosen senior dari Fakultas Kehutanan UGM Prof. San Afri Awang M.Sc (2008) merupakan dampak dari degradasi hutan. Bahkan dikawatirkan jika degradasi dan deforestasi hutan terus berlanjut sekiranya 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam seiring dengan naiknya suhu dan cuaca sekitar dua derajat celcius.

TUGAS DAN TANTANGAN RIMBAWAN
Tanggal 16 Maret merupakan hari bersejarah bagi para rimbawan, karena pada tanggal 16 Maret 1983 merupakan awal pembentukan Departemen Kehutanan yang selanjutnya menjadi cikal bakal Hari Bhakti Rimbawan. Semakin hari Rimbawan (Forester) menghadapi masalah kerusakan alam yang semakin meningkat. Bertambahnya penduduk dunia dan semakin meningkatnya standar kehidupan manusia diduga menjadi penyebab utama.
Rimbawan-pun berada pada kondisi dilematis, masalah hutan makin lama makin berkembang sebagai objek yang kontroversial. Di satu sisi, hutan harus dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan, dan disisi yang lain harus diselamatkan demi kelestariannya. Rimbawan harus bisa memilih, antara menitik-beratkan pengelolaan hutan pada hasil/bidang usaha yang dapat menciptakan lapangan kerja dengan konsekuensi hutan akan rusak dan akan semakin banyak timbul bencana alam, atau pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada kelestarian dan penyelamatan serta perlindungan kawasan yang meliputi tumbuhan dan satwa liar, ekosistem, dan perlindungan terhadap plasma nutfah dengan konsekuensi lapangan pekerjaan akan semakin sempit karena sedikitnya usaha yang bergerak di bidang kehutanan.
Program kerja Kementerian Kehutanan (perubahan dari Departemen Kehutanan) periode tahun 2010-2014 yang mengambil visi: Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”,  lebih menekankan pada sektor ekonomi. Visi ini diambil berdasarkan arahan Presiden RI yang menekankan pada Triple Track Strategy. Strategi tersebut adalah :
  1. Pro growth, stabilitas ekonomi mikro yang mendukung pertumbuhan ekonomi,
  2. Pro job, pembenahan sektor riil untuk peningkatan dan penyerapan lapangan kerja,
  3. Pro poor, semua aktivitas harus dapat memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan.
Dengan Triple Track Strategy, Pemerintahan KIB II bertekad mewujudkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 7% atau lebih, penurunan angka pengangguran sampai 6%, serta penurunan angka kemiskinan hingga 10%. Strategi ini harus dilakukan di semua sektor pembangunan, khususnya sektor kehutanan.
Berdasarkan program kerja kehutanan di atas, rimbawan dituntut untuk dapat memanfaatkan hasil hutan sebanyak-banyaknya, tetapi tetap menjaga hutan dengan sebaik-baiknya. Hal ini disebut dengan konsep kelestarian (Sustainable Yield) sehingga dapat diperoleh Multiple Use Concept, yakni manfaat ganda hutan yang dapat diperoleh secara langsung, baik secara ekonomi berupa hasil hutan kayu ataupun non kayu, serta secara tidak langsung, berupa pengaturan tata air, ekowisata, penghasil keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar yang sangat tinggi, dan lain-lain.
Rimbawan harus siap untuk dihujat dan dicaci-maki ketika bencana alam terjadi meskipun itu bukan hasil pekerjaannya. Sebaliknya, rimbawan siap pula ditentang atau berhadapan dengan berbagai pihak/komponen masyarakat termasuk kalangan pejabat baik sipil maupun militer manakala melarang upaya pengrusakan kawasan hutan. Contoh kasus adalah pelarangan penambangan pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) beberapa waktu lalu mengakibatkan aparat TNGM menghadapi demonstrasi masyarakat penambang pasir serta ancaman beberapa oknum dengan alasan kehilangan mata pencaharian pokok. Padahal fungsi utama kawasan TNGM adalah pelindung utama fungsi hidrologi (air) bagi DIY dan Jawa Tengah.
SAATNYA MENANAM UNTUK MASA DEPAN
Untuk menekan dampak deforestasi, pemerintah mesti mengembangkan upaya pelestarian sumberdaya air secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Yaitu dimulai dengan konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan, dengan model yang dibuat berdasarkan kondisi awal dari kawasan tersebut. Penegakan hukum terhadap pelaku penebangan ilegal ((illegal logging) untuk mencegah perusakan hutan lebih lanjut harus dilakukan dengan tegas, tidak pandang itu masyarakat kecil, aparat atau pejabat. Maraknya penebangan ilegal  telah memperparah degradasi dan deforestasi hutan yang sekarang sudah mencapai 59 juta ha dengan laju degradasi tahun 2000-2007 seluas 1,18 juta ha/tahun.
          Salah satu cara konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan dilakukan melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pohon. Pada tahun 2009 telah dilakukan gerakan penanaman pohon “One Man One Tree” dengan target 230 juta pohon. Pada tahun  ini ditingkatkan menjadi 1 Milyar pohon, sesuai dengan tema peringatan Hari Bakti Rimbawan tahun 2010, yaitu ”Perkuat Jiwa Korsa Guna Penguatan Bakti dan Kesejahteraan Rimbawan Demi Suksesnya Gerakan Tanam 1 Milyar Pohon”. Semoga kegiatan ini dapat menjadi solusi mengatasi pemanasan global di Indonesia yang terkena dampak paling parah, karena berada di Khatulistiwa. Selamat bertugas Rimbawan Indonesia!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar