Minggu, 20 Februari 2011

Menyambut Hari Bumi 22 April: SELAMATKAN KAWASAN KONSERVASI UNTUK MASA DEPAN


Berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, tsunami, kekeringan, dan kebakaran hutan semakin mewarnai hari bumi pada tanggal 22 April. Fenomena bencana ala mini merupakan dampak dari degradasi dan kerusakan hutan, dimana saat ini mulai merambah kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TN BBS), misalnya, perambahan lebih dari 50.000 hektar untuk perkebunan kopi rakyat, sementara di Gunung Leuser (TNGL), seluas 20.000 hektar kawasan rusak, 4.000 hektar sudah ditanami sawit yang diorganisir kelompok elite (Wiratno, 2009). Di Pantai Timur Sumatera Utara, Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dibongkar menjadi tambak dan hutan bakaunya ditebang untuk industri arang; SM Bentayan dan SM Dangku dirambah untuk penambangan emas tanpa ijin (PETI). 
Di Kalimantan Timur, Taman Nasional Kutai yang kaya akan kandungan batubara, terancam dilepas kawasannya seluas 23.000 hektar atas permintaan Bupati Kutai Timur, dengan mengatasnamakan kepentingan legalisasi tujuh desa di dua kecamatan. Masih berderet panjang kasus-kasus serupa di seluruh Indonesia. Padahal fungsi penting kawasan konservasi hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang tidak tergantikan, seperti penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis, penyerap dan penjerap polutan, pemelihara keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim. Kawasan konservasipun dilindungi oleh UU RI No 41 Tahun1999 tentang Kehutanan dan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Konservasinya.
Perambahan di Kawasan Konservasi
Dalam rentang waktu 38 tahun, pembangunan nasional Indonesia telah merubah wajah ruang dan lahan di hampir seluruh pulau. Perubahan tutupan lahan di Sumatera yang didominasi oleh perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan kawasan terbuka, akan berdampak langsung pada pola tekanan terhadap kawasan konservasi.
Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak 1998, melahirkan banyak provinsi dan kabupaten/kota baru. Semua itu memerlukan kawasan hutan. Banyak kabupaten baru yang seluruh arealnya masuk dalam kawasan konservasi, seperti Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Raja Ampat. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membengkak menjadi 23 kabupaten/kota atau hampir 200 persen; Provinsi Kalimantan Tengah dari 6 menjadi 13 kabupaten, dan seterusnya (Wiratno, 2009). Lahirnya kabupaten/provinsi baru jelas memerlukan ruang, dan kawasan hutan menjadi sasaran pertama.
Perubahan-perubahan terhadap sumber daya alam di hutan lainnya adalah berkurangnya jenis maupun jumlah, bahkan kemungkinan terjadi kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebihan serta akibat berkembangnya jenis baru, bencana alam dan sebagainya. Lebih dari itu Peter H. Raven telah mengamati bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya” (Anonim, 2008).
Manfaat Kawasan Konservasi
Sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Index) tinggi. Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3% luas daratan dunia, tetapi memiliki 25 species ikan dunia, 17% spesies burung, 16% reptil dan amphibi, 12% mamalia, 10% tumbuhan dan sejumlah invertebrata, fungi, dan mikroorganisme (Gautam, 2000).  Hutan tropis Indonesia merupakan 10% dari hutan tropis dunia dan 40-50% hutan tropis Asia.  Oleh karena itu konservasi sumberdaya hutan merupakan hal yang sangat penting.
Munasinghe (1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi sumberdaya hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi kehidupan manusia, 2) berfungsi sebagai “sink” yang menyerap dan menurunkan polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara, dan 3) berfungsi sebagai penunjang kehidupan yang tidak tergantikan, sehingga tanpa sistem tersebut kehidupan di bumi akan berubah atau rusak.  Berbagai kebutuhan hidup manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari flora dan fauna.  Tanpa keberadaan flora dan fauna siklus unsur hara dan aliran energi tidak akan berlangsung sehingga kehidupan manusia di atas permukaan bumi akan punah (Setiawan, 2001). 
Berdasarkan keadaan tersebut maka sumber daya alam flora fauna dan ekosistemnya perlu dikelola dengan baik dan lestari untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan hidup manusia pada masa kini dan mendatang, yaitu upaya-upaya perlindungan, pelestarian, pemanfaatan yang seimbang serta studi dan penelitian-penelitian. Oleh karena itu, tindakan yang paling penting untuk menghindari terjadinya kepunahan flora-fauna dan mikroorganisme sesuai dengan Convention on Conservation of Biodiversity adalah “save it, study it, and use it” (Suwelo 2000; Alikodra 1996).
          Sebagai negara yang memiliki memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta Ha dengan pembagian fungsi yang berbeda yakni 23,2 juta Ha sebagai kawasan konservasi, 32,4 juta Ha sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas sebesar 21,6 juta Ha serta 35,6 juta Ha sebagai hutan produksi dengan mendukung 14,0 juta Ha sebagai hutan produksi konservasi, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk melindungi kawasan penuh sumberdaya tersebut bagi kepentingan kesejahteraan manusia generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik lokal, regional, nasional maupun global (Suwarno, 2007).  Kawasan konservasi masih banyak mengalami kerusakan akibat berbagai gangguan. Adanya berbagai gangguan merupakan indikasi banyaknya masalah yang dihadapi, antara lain adalah pandangan bahwa konservasi semata-mata merupakan kegiatan Kementrian Kehutanan. Padahal perlindungan kawasan konservasi merupakan tanggungjawab kita bersama, seperti ungkapan “No forest means no future, Hutan lenyap kiamat makin dekat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar