Senin, 21 Februari 2011

MASJID LABA-LABA

Alkisah ada seorang yang sangat ingin dikenal sebagai Kyai yang dihormati di kampungnya.  Bermacam usaha dia lakukan, salah satunya menjadi imam sholat jama’ah di masjid dan memimpin dzikir/pengajian. Padahal dari sisi kefasihan bacaan Al-Qur’an sangat kurang, bahkan cukup banyak bacaan yang salah.
    Sayangnya pula tidak ada jama’ah yang mempunyai keberanian untuk mengingatkan kesalahannya, karena makmum mayoritas orang tua yang bersikap lebih memilih mendiamkan daripada menimbulkan konflik. Budaya ‘ewuh-pekewuh’ masih sangat membudaya di kampung itu. Alhasil tiap shalat fardhu, Kyai tersebut dengan penuh percaya diri maju menjadi imam, dan tidak ada yang berani mencegahnya.
    Lambat laun jama’ah masjid tersebut semakin  berkurang karena semakin banyak orang tua yang meninggal dunia, padahal tidak ada regenarasi pemuda masjid. Kyai itu pun menyusul meninggal dunia. Masjid semakin sepi dan tidak terawat. Satu demi satu mulai digantikan jama’ah dari golongan satwa seperti laba-laba, kecoa, tokek, sampai menjadi sarang burung sriti.
 
Bermakmum Dengan Imam Yang Tidak Baik Bacaannya

    Diantara persyaratan seorang bisa menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat. Persyaratan itu bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an.
    Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang yang ummi.
    Adapun imamnya seorang yang ummi untuk orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149).
    Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan Hambali) mengatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu) keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
    Demikian pula tidak sah makmumnya seorang yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu dimakruhkan oleh Maliki,
    Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan shalat makmumnya tidaklah sah.” Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
    Para ulama Hanafi telah memperluas penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan. Kaidah ini diikuti oleh para ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899).
    Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain, seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti (orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
    Dan diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya sedikit pun..
    Sedangkan apabila seorang yang mampu memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal 411).
    Dengan demikian tidak seharusnya seorang imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam pengucapan huruf-huruf al Qur’an baik ketika membaca Al Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya terdapat orang yang pandai membaca Al Qur’an..
    Hal itu dikarenakan akan mempengaruhi kesahan shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana penjelasan diatas.
Kewajiban Memberikan Peringatan
    Sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk berdakwah memberikan peringatan, meluruskan yang salah. Inti dakwah adalah untuk dirinya sendiri -bukan hanya untuk orang lain-, yakni menuju selamat dunia-akherat, seperti ungkapan: “Jalan Dakwah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan dakwah. Kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa kami harus hidup bersama mereka di jalan ini agar berhasil dalam hidup di dunia dan di akhirat”.
    Kisah  Masjid Laba-laba dapat dicegah jika semua jama’ah satu tujuan memakmurkan masjid sesuai syariat yang dibawa Rasulullah Saw. Patut diingat bahwa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) menjadi budaya di negara ini karena awalnya didiamkan saja. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang berani dengan tegas memberikan hukuman bagi pelakunya. Tak heran negara ini masih terseok-seok untuk maju menjadi Negara Madani.
    "Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: 'Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya". (HR. Bukhari).

@kaliurang, 17 Februari 2011, untuk bulletin Arbain, Patangpuluhan, Yogyakarta

referensi:
Sigit Pranowo,Lc. Imam Shalat Kurang Fasih.http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/imam-sholat-kurang-fasih.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar