Minggu, 20 Februari 2011

UPAYA PENYELAMATAN SATWA LIAR GUNUNG MERAPI

Saat Merapi meletus, pemerintah dan pelbagai organisasi sibuk bekerja untuk menyelamatkan manusia yang tinggal di Merapi dan sekitarnya. Sedangkan nasib satwa liar penghuni Gunung Merapi nyaris belum terpikirkan orang, padahal informasi terbaru (tanggal 2 November 2010) monyet ekor panjang (Maccaca fascicularis) turun ke pemukiman warga Kaliurang dan merusak tanaman (TNGM, 2010). Selama ini monyet ekor panjang sebagian besar makanannya tergantung dari pengunjung wisata Plawangan-Turgo. Alhasil selama Kaliurang ditutup mereka susah memperoleh makanan, apalagi ditunjang dengan erupsi Merapi. Bagaimana cara mengevakuasi dan menyelamatkan satwa liar Merapi?
 Sebagai Khalifah fil Ardh ‘Pemimpin di Bumi’  manusia harus melindungi makhluk-makhluk lain atau binatang secara bijak karena mereka bermanfaat bagi keseimbangan sistem kehidupan di muka bumi. Makhluk hidup apa pun merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang satu sama lain saling membutuhkan. Peter H. Raven mengatakan bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya.” 
Berangkat dari perspektif inilah, di samping manusia di Merapi dan sekitarnya, kita juga perlu memperhatikan dan menyelamatkan satwa liar di wilayah itu. Terutama, perhatian itu diberikan kepada satwa langka seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), macan kumbang (Panthera sp.) dan macan tutul (Panthera pardus). Ketiga satwa ini populasinya sudah sangat sedikit sehingga jika manusia tidak melindunginya, bisa musnah. Jika mereka musnah, lantas siapa yang bisa menciptakannya? 

Potensi Satwa Liar TNGM

         Dengan luasan wilayah ±6.410 Hektar, kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) menyimpan potensi kehati (keanekaragaman hayati) yang besar. Ada ratusan jenis tumbuhan di TNGM, diantaranya adalah kantung semar, cokro geni, pakis, dan anggrek langka Vanda tricolor. Untuk satwa liar mencakup mamalia, reptilia, dan aves. Beberapa jenis mamalia diantaranya adalah: macan kumbang, macan tutul, babi hutan (Sus scrofavittatus), kijang (Muntiatjus muntjak), monyet ekor panjang, lutung kelabu (Presbytis fredericae), kucing besar (Felis sp.), musang (Paradoxurus hermaprodus).

Jenis reptil yang ditemui adalah ular sowo (Dytas coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris), bunglon (Goneocephalus sp.). Selain itu di TNGM hidup 159 jenis burung, 32 jenis diantaranya adalah endemik Merapi. Jenis burung yang terkenal adalah Elang Jawa yang jumlahnya hanya 4 ekor di lereng Selatan (data TNGM, 2010)

Lereng Selatan Merapi, yakni kawasan hutan dari Deles, Klaten; Kinahrejo, Cangkringan dan Plawangan-Turgo, Pakem mempunyai tingkat kehati paling tinggi; disusul lereng Barat: kawasan hutan Ngargomulyo, Dukun, Magelang. Mereka menjadikan kawasan Merapi dan sekitarnya sebagai tempat berlindung dari berbagai gangguan, berkembang biak dan membesarkan anak-anaknya, serta mencari makanan dan minuman untuk kelangsungan hidupnya. 


Upaya Penyelamatan dan Rehabilitasi

Saat gunung Merapi akan meletus, melalui naluri alamnya yang tajam, banyak satwa liar yang turun gunung untuk menyelamatkan diri. Mereka mencari daerah aman untuk berlindung. Tapi sayangnya, sulit bagi mereka untuk mencari tempat perlindungan tersebut. Sebab daerah-daerah lereng dan dataran tinggi di sekitar Merapi sudah dihuni manusia. Mereka sulit menemukan daerah penyangga dan jalur-jalur koridor pengaman yang dapat melindungi mereka.

Daerah yang seharusnya menjadi penyangga dan koridor pengaman satwa-satwa tersebut kini sudah menjadi wilayah permukiman, perkebunan, dan ladang-ladang penduduk. Satwa-satwa Merapi akan sulit mencari perlindungan guna menyelamatkan diri saat Merapi meletus. Mereka mungkin bisa lari dari lereng Merapi, tapi apakah akan selamat jika mereka datang ke permukiman dan perkebunan warga?

Sebagai contoh, ketika ada bencana alam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, banyak satwa liar seperti harimau loreng Jawa, banteng, rusa, babi hutan, kerbau liar, bermigrasi menyelamatkan diri menuju Taman Nasional Baluran (Alikodra, 2007). Di sepanjang perjalanan itu itu banyak pemburu liar dan pembantai satwa tak bertanggungjawab. Akibatnya, harimau loreng Jawa kini sudah tidak ada lagi. Dia telah punah dari muka bumi.

Berdasarkan gambaran itulah, perlu dipikirkan bagaimana cara menyelamatkan satwa-satwa tersebut. Balai TNGM bersama Pemerintah Daerah perlu membuat daerah penyangga di sekitar Merapi dan membuat jalur khusus atau jalur hijau sebagai koridor untuk migrasi satwa-satwa tersebut ke daerah penyangga.

Untuk saat ini yang perlu segera dilakukan adalah pembentukan tim penyelamatan satwa Merapi. Balai TNGM dapat bekerja sama dengan rumah sakit hewan, Perguruan Tinggi (Fakultas Kehutanan dan Kedokteran Hewan), Dinas Kehutanan, Balai KSDA serta organisasi peduli satwa seperti Pro-Fauna. Relawan-relawan dari tim penyelamatan satwa ini melakukan penyisiran untuk menyelamatkan satwa serta melakukan perawatan dan penanganan kesehatan satwa-satwa yang luka dan sakit. Tak kalah pentingnya, perlu didirikan posko-posko penyelamatan satwa di jalur-jalur pengungsian serta menetapkan rumah sakit hewan untuk merawat hewan yang luka dan mengalami kecelakaan.

Disamping itu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana sikap mereka untuk mengamankan dirinya bila berhadapaan dengan satwa liar yang berbahaya dan bagaimana membantu mengamankan satwa liar tersebut. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan jalur migrasi satwa Merapi jika terjadi letusan serta proses rehabilitasi kawasan hutan TNGM pasca erupsi, apakah perlu dilakukan penanaman atau dibiarkan terjadi suksesi alami? Wallahu’alam bi showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar